My Search

18 Maret 2008

Kisah dibalik layar Ayat-ayat Cinta


   Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama.Itulah kenapa ibuku
dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu :
Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang
menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar
petuah-petuah yang membosankan.. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih,
kadang berewokan, mulutnya ngerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera.
Membuat dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang
olehku sebuah film agama. Aku terjun membuat film Cinta: Brownies, Catatan
Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa suatu saat
akan datang masa aku membuat film tentang agama. Alhamdulillah, benar.
MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat Cinta (AAC).

'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku

'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia
80 persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya
minta 1 persen dari 80 persen masak tidak bisa.'1% dari 80% penduduk muslim
Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton. dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti
pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya 10 milyar,
keuntungan yang didapat 10 milyar.

Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset. Wallohu ...
Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo,
aku menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku mencium bau apek baju-baju
dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka
saat bersujud diatas sajadah buluk. Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi
dibalik bibir pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...Lalu aku melihat seorang syaih
duduk bersila dihadapan murid-muridnya. 'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan
ayat-ayat Al quran di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu
Akbar ... Allohu Akbar.

Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?

Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam sangat eksotis. Tapi orang-orang
islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa
daripada ke Kairo. 'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.

Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku tentang Fiqih dan
sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku sangat hati-hati sekali melakukan ini
agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut,
yang indah, yang suci tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya. Namun semua
impianku itu tidak begitu saja mudah diwujudkan. Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar,
halangan pertama datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan,
sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini akan difilmkan.
Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel yang difilmkan hasilnya bagus,
sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hati-hati sekali.
Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan 'menjual'. Karena itu kami
menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai penasehat kami. Sebelum aku melakukan casting,
aku berdiskusi dulu dengan kang Abik.

Kang abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri. Semula
kami membuka casting di pesantren-pesantren . Tetapi hasilnya Nol. Bukan berarti para santri tidak ada
yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara mereka sudah menganggap 'Film' adalah
produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu
hadist, jangankan membuat film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar
yang kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita dengan
cambuk api.

Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah pemain-pemain terkenal.
Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas 'Kesucian Fahri'. Lalu ditengah keputusasaan
kami datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng). Sering kita
lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng. Tetapi lelaki ini tidak .
Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh, dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih
seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya
mata yang didalamnya mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik.
Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang main sebagai Fahri.
Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar
bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian
di kalangan pembaca fanatik AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan
Fedi ciuman dengan perempuan bukan muhrim.
Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat
dengan Islam. Belajar kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku
tentang Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini setelah
memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu besar mempengaruhi keimanan
seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.

Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk mencari pemain Mesir.
Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan. Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari
umurnya. Aku mengcasting seorang perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak
hanya cantik, tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda
lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun dari Fedi Nuril.
Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi. Pada saat kami sejajarkan, sangat pas.
Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan, tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak.
Alias belum matang. Kami bingung dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja. Tidak
gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din Syamsudin berpesan kalau bisa
pemain Aisha kesehariannya berjilbab. Lihatlah siapa artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu.
Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak
bertampang bule. Dia sangat sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata.. Dia sangat cantik dan
bermain bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim. Padahal Nadine
sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi panjang dengan kang abik soal itu. Aku
bilang padanya ...'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang muslim,
sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan memperlihatkan sikap toleransi dan
demokratisasi dalam Islam seperti di India.' Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk
jangan bertaruh terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India,
masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam toleransi, sementara
di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan Carrisa Putri sebagai Maria. Ketiga
pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat
antusias. Namun antusiasme itu harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya.
Ryanti sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter ketika berperan
sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu
tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna.
Aku frustasi sendiri. Tetapi aku ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku
mewujudkan keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang, Hedonistik
dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan penonton Film Indonesia banyak
di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas
ingin mengubah karakterr film AAC menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ...

Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film ini ...

Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan Talaqi dibuang. Karena boring dan
membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara
dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel
digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya adaptasi sebagai sosok
imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafatskan
kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti
AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai ...

Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!

begitulah yang aku dapatkan di film ini. Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini
mampu dan sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan ... cinta.
Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah memberikan aku jalan menuju kedewasaan.
Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku
menyutradarai film ini, dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan
penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang telah berpesan untuk
membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk
membuatku selalu dekat dengan Islam ...

La haula wa kuwwata illa billahi ...

Oleh : Hanung Bramantiyo (Sutradara)

[+/-] Selengkapnya...